Pages

Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Senin, 12 Desember 2011

“ Aku Ingin Seperti Mereka ”

Langit pagi terlihat cerah, embun masih terasa di pucuk daun. Warna kekuningan tampak begitu sempurna dengan semburat cahaya yang mulai muncul di balik gedung-gedung.
Aku duduk di salah satu sudut ruangan gedung C sambil menunggu dosen. Tiba-tiba handphonku melantun dari balik tasku.
“Halo, Kak! Alhamdulillah aku lulus!” Katanya diujung telepon.
“O ya, Alhamdulillah, Dik! Jadi kamu mau lanjut dimana?” Tanyaku.
“Aku juga tidak tahu, mungkin tidak diizinkan untuk lanjut”. Jawabnya sedih.
“Ah, kamu lanjut saja, Dik.” Kataku menyemangatkan.
Setelah menutup teleponnya, aku terdiam. Aku kasihan mendengar kata adikku. Dia pasti sedih, sama seperti saat aku ingin melanjutkan sekolah di perguruan tinggi dua tahun yang lalu.
Waktu itu, kami sekeluarga berkumpul sambil nonton TV. Tiba-tiba aku membuka pembicaraan yang serentak membuat mereka kaget.
“Ma, aku mau ke Kendari nah,,!”
“Mau bikin apa…?” Jawabnya serentak.
“Aku mau mendaftar, aku ingin kuliah juga, Ma!” Kataku. Seketika ruangan hening. Tak satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Tetapi dari tatapan mereka aku dapat menangkap jawaban yang dapat mereka ucapkan.
“Kenapa, Ma?” tanyaku lagi.
“Bukan tidak mau, Nak. Tapi kita mau ambil uang dari mana, Nak? Kamu tau sendiri keadaan keluarga kita sekarang. Pekerjaan bapakmu tidak seperti dulu lagi. Sementara adik-adikmu, ada yang mau masuk SMP dan masih ada yang di bangku TK dan SD. Mereka itu butuh uang setiap hari. Dan kamu juga tahu biaya kuliah itu sekarang mahal, bukan uang sedikit, Nak…!” Kata mamaku.
“Tapi kan ada Kakakku, mungkin dia bisa bantu untuk biaya kuliah nanti…! Tambahku lagi.
“Nak, tidak boleh kita berharap sama dia. Karena dia juga punya anak, punya keluarga. Kita jangan merepotkan dia. Apalagi kakakmu itu masih guru kontrak!” Jelasnya lagi.
“Jadi… aku tidak kuliah, Ma…? Aku tinggal di rumah?”
“Mau apa lagi, sabar saja, Nak!” Jawabnya singkat.
Tanpa ku sadari bulir bening menjalar di pelupuk mataku. Dadaku sesak dan nafasku terasa berat. Aku seperti dihimpit ribuan ton batu karang. Hanya air mata yang terus menetes yang tak mampu ku tahan lagi.
Hari demi hari ku isi dengan isak tangis. Rasanya hatiku remuk. Air mataku mengalir deras. Semua mimpi dan cita-citaku benar-benar kandas. Mataku yang masih basah seketika melirik handphone yang ada di samping kepalaku. Benda kecil itu sejak tadi bergetar. Perlahan tanganku meraihnya. Kemudian ku dekatkan di telingaku ku dengar suara kakakku di seberang telepon.
“Halo, kenapa kau sedih terus. Datang saja ke Kendari!” Katanya.
“Untuk apa aku ke sana?” Jawabku seadanya.
“Jalan-jalan saja dulu…” Jawabnya.
Sejenak aku terdiam. Aku terpikir mungkin kalau aku ke Kendari aku akan lebih plong dan bisa menghapus impianku yang telah kandas.
Keesokan harinya, aku berangkat ke Kendari. Atas izin yang diberi kedua orang tuaku. Di perjalanan, hatiku diliputi pertanyaan, apakah aku bisa menghilangkan semua keinginanku itu dan apakah yang nanti akan aku lakukan apabila aku tidak kuliah. Tinggal di rumah pasti membosankan. Apalagi teman-temanku semua kuliah. Air mata menetes. Hatiku benar-benar diremas, ribuan pertanyaan. Tetapi tidak ada yang bisa aku lakukan selain pasrah karena aku tidak mungkin memaksa mereka untuk memenuhi keinginanku. “Ya, Allah. Jika ini memang sudah menjadi keputusan-Mu, berilah aku ketabahan dan tunjukkan hikmah atas kuasa-Mu ini untuk hamba-Mu yang lemah ini.” Bisikku dalam hati.
Dua hari aku di Kendari, aku sudah merasa bosan. Tetapi ternyata hal itu diperhatikan kakakku. Ia pun akhirnya memberitahukan bahwa sebenarnya tujuan ia memanggil aku ke Kendari memang untuk mengkuliahkan aku. Ia menyuruh aku ke kampus untuk mengambil formulir pendaftaran. Akhirnya aku pun ikut seleksi USNMPTN dan lulus sebagai mahasiswa Unhalu. Hari itu juga aku baru mengabari keluargaku di kampung karena aku mendaftar tanpa sepengetahuan orang tuaku.
“Eh, sudah mau masuk. Pak dosen sudah datang! Kata salah satu temanku mengagetkan aku.
Seketika bayangan 2 tahun lalu itu hilang. .Aku kaget. Ternyata hari ini aku ujian akhir semester. Mata kuliah semantik.


»»  Baca Selengkapnya...

Cinta ke Lain Hati

Di sebuah rumah mungil yang halamannya cukup luas, penuh aneka bunga. Dua buah kursi rotan terlihat di teras rumah mungil itu. Rumah mungil yang berpagarkan bunga mawar. Harum bunga mawar yang dihembuskan angin terasa sampai ke relung hati, mendamaikan siapa saja yang menghirupnya. Halaman dengan rumput yang tertata rapi itu kemudian menjadi saksi saat dua pasang mata itu beradu pandang. Sebuah tatapan yang menyimpan kerinduan abadi.
“Sungguh indah rumahmu, tapi aku yakin rumah ini akan lebih indah jika aku boleh berada di sini. Aku juga yakin bunga mawar itu tidak akan berbunga jika bukan aku yang ijinkan menyiraminya setiap pagi…”
Rendy menatap Anita, wanita dengan jilbab putih disampingnya. Kedua insan itu kembali dipertemukan oleh sebuah rasa. Rasa cinta yang pernah pindah ke lain hati. Anita tertunduk, terbayang pertemuan terakhirnya dengan Rendy malam itu di sebuah café.
“Karena Amel lebih membutuhkan keberadaanku. Kamu jauh lebih sempurna dalam segala hal dibanding dia. Sungguh Nit, aku juga tidak bisa membohongi hatiku. Aku begitu takut mengungkapkan semua perasaanku kepadamu. Sejak dulu aku takut. Aku takut karena kamulah satu-satunya wanita sempurna yang pernah ku temui. Jika saja aku bisa mengulang waktu, mungkin aku akan memilih untuk tidak mengenal Amel. Tapi dia lebih membutuhkan aku. Kamu wanita sempurna yang mampu menjaga dirimu sendiri. Kamu mampu menilai mana yang benar dan mana yang salah”, Kata Rendy.
“Bisa diperjelas?” Pinta Anita.
“Amel itu berasal dari pernikahan antar etnis dan antar agama. Dia mengikuti agama papinya yang muslim. Dia membutuhkan aku untuk membimbingnya, walaupun sebenarnya aku sendiri masih sangat jauh dari mengerti apa itu agama. Hati kecilku mengatakan, Amel lebih membutuhkan diriku agar kami bisa belajar bersama. Sementara kamu? Kamu jauh lebih memahami agama dibanding dia. Kamu punya latar belakang agama yang kuat. Aku yakin Allah akan memberikan jodoh yang sepadan denganmu, yang jauh lebih sempurna dibanding diriku.” Tambah Rendy.
Nita terisak sambil menyeka air matanya dengan kedua ujung jari telunjuknya. Rendy menyodorkan tissue. Anita tidak menyambut tissue itu. Entah mendapat kekuatan dari mana, tangan Rendy bergerak pelan mendekata wajah gadis di depannya. Kemudian menyeka air mata gadis itu. Anita tak menepis tangan itu. Tetapi keduanya tak berkata.
Kejadian itu membuat hati Anita remuk redam. Air matanya mengalir deras. Semua mimpinya tentang Rendy benar-benar kandas. Anita memutuskan untuk menenangkan diri di rumahnya. Tetapi sosok Rendy tak juga pergi dari kepalanya. Senyum Rendy terus saja hadir. “Ya Allah, berilah hamba-Mu sedikit pelajaran, bisik hati ini. Mungkin inilah yang dinamakan ujian. Barangkali ujian terberat manusia adalah saat dia merasa kehilangan. Dan kehilangan terberat dalam hidup barangkali adalah ketika seseorang harus kehilangan orang yang dicintainya”.
“Nita…” sapa Rendy membuat Anita kaget. Keduanya kembali beradu pandang, senyum pun lepas. Senyum bahagia terpendam lama di hati keduanya.
“Aku tahu kenapa Allah baru menyatukan kita sekarang.” Kata Rendy setelah duduk di lantai marmer teras rumahnya Emi anak Rendy buah perkawinannya dengan Amel bermain boneka. Sesaat kemudian Rendy mengeluarkan amplop coklat, dengan teliti Anita membacanya. Tetapi belum lagi usai, Anita sudah memeluk Rendy erat. Dia menangis di bahu suaminya.
“Tak usah menangis, Sayang.” Aku akan tetap mencintaimu hingga tanah menjadi batas. Kita sudah punya Emi. Lihat, dia begitu bahagia bersama kita. Dia ada ke dunia ini karena engkau juga ada di sini. Aku mencintainya, juga karena aku begitu mencintaimu.” Rendy berkata lembut lalu memeluk istrinya.
“Aku menangis karena menyesal sempau protes kepada Allah. Dulu aku tak henti bertanya kenapa kamu harus menikah dengan Amel, bukan denganku. Ternyata inilah jawabannya. Pertanyaan yang terpendam bertahun-tahun, kini terjawab sudah. Maha Adil Allah dengan segala takdir-Nya. Aku terlalu terbutu mencela keputusan-Nya. Amel dikirim untukmu lebih dahulu karena ternyata dia wanita yang tidak bisa mempunyai anak. Ya Allah Dzat Yang Maha Agung, ampunilah dosa-dosaku yang tidak mau mengerti takdir-Mu yang begitu indah ini…”
Anita terus menyeka air matanya.

»»  Baca Selengkapnya...