Pages

Senin, 12 Desember 2011

ANALISIS DRAMA “ WAKTU PEREMPUAN ”

Abstrak :    Adapun tujuan penulisan penelitian drama ”    Waktu Perempuan ” karya Royan Ikmal  ini adalah untuk mengetahui bagaimana rekontruksi pandangan dunia pengarang dalam karya sastra. Sastra merupakan hasil cipta atau karya manusia yang dapat dituangkan melalui ekspresi yang berupa tulisan. Karya sastra merupakan karya yang berisi pemikiran, ide-ide, dan amanat penutur dapat berkomunikasi dengan peminat sastra, apabila mampu mengapresiasinya. Untuk dapat mengapresiasi karya sastra dengan baik tentulah harus ada rasa cinta dan kasih sayang terhadap karya itu. Pada drama “Waktu Perempuan” yang ditulis oleh Royan Ikmal menceritakan tentang kekerasan pada kaum perempuan, kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi yakni dalam drama ini seorang wanita yang dengan begitu mudah menyakiti dan merendahkan seorang wanita.Tanpa mau perduli perasaan perempuan  meskipun perempuan selalu berusaha melawan dan mempertahankan haknya, namun laki-laki tetap pada pendiriannya


Latar Belakang

Sastra merupakan ekspresi pengalaman dan pergolakan lahir dan batin pengarang atas realitas kehidupan yang dilihatnya melalui pikiran dan perasaan dan imajinasinya. Realitas sastra merupakan suatu dunia baru yang sebelumnya telah ada melalui proses kreatif pengarang dalam menerjemahkan kehidupan manusia dengan segala problematikanya. Oleh karena itu, sastra sebagai karya imajinatif tetap memiliki relevansi dengan realitas sosial budaya yang memberikan kesaksian zaman disertai solusi alternatif atas kemapanan yang terjadi. Karya sastra merupakan rekaman perjalan sejarah suatu bangsa. Karya-karya tersebut berupa cerpen, puisi, novel dan drama.

Drama merupakan salah satu bentuk karya sastra yang berbeda dengan bentuk lain  (prosa, fiksi ), drama bukan sekedar teks tetapi merupakan teks yang dipentaskan, dimainkan atau dilakonkan. Karena itu penikmat karya sastra ini melalui proses menyaksikan, menonton pementasan drama. Drama biasanya menyajikan masalah-masalah kehidupan manusia yang mungkin terjadi dan akan terjadi, meskipun persoalan-persoalan kehidupan manusia yang dipentaskan tersebut hanya bersifat imajinatif.

Pada drama “Waktu Perempuan” yang ditulis oleh Royan Ikmal menceritakan tentang kekerasan terhadap kaum perempuan. Dalam drama ini,  seorang laki-laki yang dengan begitu mudah menyakiti dan merendahkan seorang wanita. Laki-laki tidak mau sadar bahwa hakikat seorang perempuan itu sangat berarti . Mereka tega menelantarkan, menghianat dengan seenaknya dan mencampakannya. Meski demikian, perempuan sudah berusaha untuk mempertahankannya tetapi sia-sia karena laki-laki menganggap bahwa dialah yang paling berkuasa dan paling berhak atas semuanya. Mereka lupa akan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Ketika Adam diperkenalkan dengan pasangannya yaitu seorang perempuan yang diambil dari tulang rusuknya, dia dengan girang berkata bahwa perempuan itu adalah tulang dari tulangnya dan daging dari dagingnya. Ini adalah suatu pernyataan yang memiliki arti bahwa dia sebagai laki-laki telah menganggap dan mengakui posisi perempuan yang bernama Hawa itu adalah sama dengan dirinya dan tidak ada perbedaan. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang membedakan hanyalah jenis kelamin, sedangkan posisi dan status mereka adalah sama.

Salah satu metode dalam usaha mengetahui makna-makna yang terkandung serta memahami isi drama “Waktu Perempuan “ karya Royan Ikmal adalah dengan menganalisis drama tersebut lebih dalam. Oleh karena itu, melalui analisis dengan pendekatan structural genetik. Pendekatan genetic adalah pendekatan yang yang di dalam penelitiannya lahir sebagai reaksi pendekatan strukturalisme murni yang anti histories dan kausal. Pendekatan ini juga dinamakan  sebagai pendekatan objektif

Pembahasan

Pada drama “Waktu Perempuan” yang ditulis oleh Royan Ikmal menceritakan tentang kekerasan pada kaum perempuan, kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi. Menurut  Pdt. Dekker, kekerasan  merupakan perilaku yang secara verbal, fisik, psikis dan emosional merendahkan dan merusak diri, termasuk lingkungan sekitarnya. Karena kekerasan itu merupakan suatu kekuatan perusak yang amat dahsyat karena melampaui batas ruang dan waktu. Bahkan, kekerasan mampu mengacaukan dan meluluhkan tata relasi sesungguhnya. Jadi, kekerasan itu selalu memecah belah. Menurut Dekker, penyebab kekerasan adalah rasisme, yaitu faham yang mengajarkan bahwa ras tertentu adalah ras terunggul sehingga merasa memiliki kuasa absolut untuk menindas, mengisap, dan menguasai orang lain.
Kekerasan pada perempuan juga terjadi karena adanya ketimpangan atau ketidakadilan jender.  Ketimpangan jender adalah perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-laki.  “Hak istimewa” yang dimiliki laki-laki ini seolah-olah menjadikan perempuan sebagai “barang” milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan.   Perempuan berhak memperoleh perlindungan hak asasi manusia seperti hak atas kehidupan, hak atas persamaan, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas perlindungan yang sama di muka umum  serta hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental yang sebaik-baiknya. Kekerasan perempuan dapat terjadi dalam bentuk. Tindak kekerasan fisik adalah tindakan yang bertujuan melukai, menyiksa atau menganiaya orang lain.  Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan, kaki) atau dengan alat-alat lainnya.  Tindak kekerasan non-fisik adalah tindakan yang bertujuan merendahkan citra atau kepercayaan diri seorang perempuan, baik melalui kata-kata maupun melalui perbuatan yang tidak disukai/dikehendaki korbannya. Dan yang terakhir adalah  tindak kekerasan psikologis/jiwa adalah tindakan yang bertujuan mengganggu atau menekan emosi korban.  Secara kejiwaan, korban menjadi tidak berani mengungkapkan pendapat, menjadi penurut, menjadi selalu bergantung pada suami atau orang lain dalam segala hal (termasuk keuangan).  Akibatnya korban menjadi sasaran dan selalu dalam keadaan tertekan atau bahkan takut. 

Tokoh-tokoh dalam Drama ” Waktu Perempuan ”
Adapun tokoh-tokoh yang terdapat dalam  drama ”Waktu Perempuan” yaitu : Perempuan 1. Perempuan 2, Perempuan Tua, Pemuda 1, Pemuda 2 dan Manusia Terbalik.

Fakta-fakta individual  drama  ”Waktu Perempuan”:

1.    Perempuan 1
Perempuan 1 dalam drama ”Waktu Perempuan” menunjukkan bahwa , ia selalu merasakan kepedihan  dan penderitaan dari seorang laki-laki. Selain itu, Perempuan 1 juga makhluk yang memiliki peran penting dalam kehidupan karena dimana perempuanlah yang mengandung dan melahirkan sehingga tercipta manusia, termasuk laki-laki. Perempuan 1 ini berusaha menyadarkan laki-laki bahwa arti penting perempuan dan berusaha menghilangkan sifat-sifat laki-laki yang hanya bisa merendahkan kaum perempuan.

2. Perempuan 2    
Perempuan 2 dalam drama ” Waktu Perempuan” mengisahkan bahwa perempuan 2 saama nasibnya dengan perempuan 1 yang selalu merasakan penderitaan yang berkepanjanga dari perbuatan seorang laki-laki. Perempuan 2 ini selalu berharap semua yang ia rasakan akan segera berakhir dan segera terobati jika suatu saat makluk yang dinamakan laki-laki sadai akan hal bahwa betapa pentingnya seorang perempuan dalam kehidupan ini.


3. Perempuan Tua
Perempuan Tua  dalam cerita drama ”Waktu Perempuan” menunjukan seorang perempuan yang sudah tdak tahan lagi dengan kelakuan anaknya  yang selama ini selalu bergantung padanya. Perempuan tua ini merasa lelah dengan anaknya yang sudah tak sepantasnya lagi dijadikan tempat bergantung. Ia selalu dijadikan selayaknya babu oleh anaknya sendiri, sebagai pemuas hidup anak laki-lakinya tersebut, yang sudah sepantasnya hidup mandiri. Hal ini dapat dilihat pada kutipan drama :
”Aku sudah hampir kering, kenapa kamu tidak mengalir dengan wajar?kamu bisa makan debu tanganmu dan minum keringatmu.”

4. Pemuda 1
Pemuda 1 dalam drama ini menunjukan adanya sikap yang egois, pemuda ini menanggap remeh segala sesuatu. Ia juga tidak pernah merasa iba melihat perempuan. Perempuan-perempuan yang telah ia sakiti. Ia menganggap perbuatannya itu aaaadalah hal yang biasa, hal yang tidak perlu dipikirkan. Seperti pada kutipan naskah drama tersebut :
”Ha..ha..ha.. membuat perut bertambah buncit adalah hal yang sangat menyenangkan, menghasilkan segala cara juga adalah hal yang menyenangkan.”

Pemuda ini juga berpendapat yang berperan dalam kehidupan adalah laki-laki bukan perempuan, karena yang menciptakan adalah laki-laki sehingga lahirnya seorang anak, termasuk juga perempuan.

5. Pemuda 2
Pemuda 2 ini menunjukan sikap bahwa yang paling berperan dalam kehidupan ini adalah laki-laki yang yang mencari nafkah untuk perempuan, mencari uang untuk anak dan istrinya, banting tulang menghidupi keluarga. Ia juga berpikir bahwa di dunia ini tidak ada yang perlu disesali. Hidup hanya untuk bersenang-senang.


6. Manusia Terbalik
Manusia terbalik dalam drama ini sebagai penggoda manusia. Manusia terbalaik ini selalu menggoda para pemuda untuk melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan, yaitu menyakiti hati orang lain khususnya dalam hal ini perempuan. Manusia ini juga menggambarkan sosok seprti iblis yang selalu menuntun manusia, laki-laki selalu berpikir negatif dan bersikap semaunya terhadap sesama manusia.

Subjek Kolektif dalam Drama ”Waktu Perempuan”

Dari berbagai karakter tokoh dalam drama ” Waktu Perempuan” dapat dilihat subjek kolektif atau trans individual drama tersebut. Hal ini dapat dilihat antara perempuan1, perempuan 2 dan perempuan tua. Ketiganya perempuan yang sama-sama berusaha menghilangkan daya pikir laki-laki yang selalu merendahkan kaum perempuan. Mereka ingin laki-laki menghargai perempuan sebagai layaknya. Selain itu, trans individual juga dapat dilihat antara tokoh pemuda 1, pemuda 2, dimana kedua tokoh ini memilki sifat dan karakter yang sama serta daya pikir sama bahwa mereka (laki-laki)yang berkuasa dan berperan penting dalam kehidupan. Mereka lupa bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang membedakan hanyalah jenis kelamin, sedangkan posisi dan status mereka adalah sama  ini.

Strukturasi Drama ”Waktu Perempuan ”
Dalam drama ini ” Waktu Perempuan” tokoh-tokoh mengalami banyak pertentangan yakni perempuan dan laki-laki dimana mereka bertentangan mengenai siapa yang memiliki peran penting dalam kehidupan. Setelah membaca naskah tersebut dan melihat kejadian-kejadian dimasyarakat, keduanya memang sering kita jumpai atau terjadi, dimana kaum perempuan selalu menjadi korban. Perempuan memang selalu menjadi target utama tindak kejahatan. Hal ini menunjukan adanya strukturasi secara homologi antara drama ”Waktu Perempuan” dengan kejadiaan-kejadian dilingkungan sosial masyarakat. Mengapa perempuan menarik  untuk dijadikan korban? Hal ini tentu tidak lepas dari kodrat fisik perempuan yang memang lebih lembut dan tidak  sekuat laki-laki. Secara psikologis pun perempuan lebih mudah dipengaruhi, ditekan dan diancam. Intinya, resiko  melakukan kejahatan terhadap perempuan jauh lebih kecil daripada harus berhadapan dengan korban laki-laki. Perempuan selalu jadi tindak pelecehan, seperti perkosaan membawa dampak emosional dan fisik kepada korbannya.
  Secara emosional, korban perkosaan bisa mengalami stress, depresi, goncangan jiwa, menyalahkan diri sendiri, rasa takut dan kehamilan yang tidak diinginkan.   Secara fisik, korban mengalami penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan, dan lainnya. Selain itu perempuan juga korban kekerasan yang terjadi dalam lingkungan rumah tangga.  Pada umumnya, pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah suami, dan korbannya adalah istri. Kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikologis/emosional, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Secara fisik, kekerasan dalam rumah tangga seperti menampar, memukul, menjambak rambut, menendang, menyundut dengan rokok, melukai dengan senjata, dsb. Secara psikologis, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga termasuk penghinaan, komentar-komentar yang merendahkan, melarang istri mengunjungi saudara maupun teman-temannya, mengancam akan dikembalikan ke rumah orang tuanya, dll. Secara seksual, kekerasan dapat terjadi dalam bentuk pemaksaan dan penuntutan hubungan seksual. Dan yang teraknir adalah secara ekonomi, kekerasan terjadi berupa tidak memberi nafkah istri, melarang istri bekerja atau membiarkan istri bekerja untuk dieksploitasi. Korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya enggan/tidak melaporkan kejadian karena menganggap hal tersebut biasa terjadi dalam rumah tangga. Kaum perempuan tidak tahu apa yang meski mereka lakukan dan kemana harus melapor. Padahal sekarang ini keseriusan pemerintah untuk terus memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi kaum perempuan melalui ketersediaan regulasi yang pro perempuan, tidak berhenti hanya pada disahkannya UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dan UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik yang menjamin quota 30 persen untuk perempuan.


Pandangan Dunia dalam Drama ”Waktu Perempuan”

Didalam pandangan dunia masyarakat, memang pada dasarnya laki-laki masih memandang rendah seorang perempuan dan memandang perempuan sebagai makhluk yang paling lemah. Hal ini disebabkan  karena adanya persamaan derajat di masyarakat terhadap hak dan kewajiban serta masalah yang timbul akibat hak dan kewajiban yang tidak setara.

Bisa kita lihat di sekitar kita bahwa masih banyak yang belum mendapat hak dan kewajiban yang sebenarnya sudah di atur pada UUD. Perkembangan permasalahan sosial dalam masyarakat begitu kompleks sehingga diperlukan penanganan secara sungguh-sungguh, cepat, tepat dan berkelanjutan. Artinya untuk menyelesaikan permasalahan sosial dalam masyarakat tersebut diperlukan adanya motivator, stabilisator dan pendamping sosial yang hidup serta berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Para motivator, stabilisator dan pendamping sosial tersebut perlu dibekali pengetahuan dan pemahaman lebih terhadap permasalahan sosial yang ada dalam lingkungannya, untuk selanjutnya berkiprah sesuai dengan kultur dan tradisi lingkungannya itu sehingga mereka tidak terkesan eksklusif. Manusia merasa puas ketika memperoleh pembenaran atas peminggiran jenis kelamin tertentu. Namun, pada saat yang hampir bersamaan muncul kecemasan dan kekecewaan dalam hidup. Manusia belajar bahwa begitu banyak perbuatan jahat yang ada di dunia, tidak ada gunanya menambah daftar kejahatan yang mereka lakukan sendiri atas dasar dengki dari prasangka terhadap satu sama lainnya. Karena itu buatlah hidup bernilai untuk setiap individu. “… makes life valuable to the individual human being.” (John Stuart Mill,1988, h. 108-109) yang sarat muatan filosofis tentang pandangannya mengenai keberadaan manusia jika dikaitkan dengan manusia lain. Pandangannya ini menyiratkan suatu kegalauan bahwa tidak semestinya terjadi diskriminasi antara satu jenis kelamin dengan jenis kelamin tertentu. Argumen supremasi atas perempuan boleh dikata berlaku di berbagai belahan dunia ini, yaitu keyakinan bahwa kaum laki-laki lebih superior dari kaum perempuan. Kondisi itu lambat laun menjadi alasan klasik atas penindasan hak-hak perempuan. Berbagai upaya ditempuh untuk keluar dari masalah itu, baik oleh kalangan feminis maupun pemerhati masalah-masalah perempuan lainnya. Upaya yang dilakukan bukanlah untuk menyamai laki-laki dalam anti biologis, psikologis, dan sosiologis melainkan untuk memungkinkan perempuan bertindak atas pilihan bebas dan sadar sebagaimana dimilikikaum laki-laki. Bahwa perempuan tersebut kemudian memilih peran tradisionalnya atau malah peranbaru bukanlah menjadi persoalan. Yang penting ialah bahwa perempuan mempunyai kekerasan untukmenentukan pilihan dan putusannya sendiri.Pengalaman saat melahirkan, memberikan kehidupan bagi makhluk-makhluk kecil yang amat merekasayangi, dan ketakutan akan kekerasan menurut Arivia (1996, h. 3) barangkali merupakan pengalaman yangbetul-betul dirasakan perempuan secara universal.
Pengalaman ini berlangsung dalam sejarah perkembangan budaya dan pemikiran manusia. Diskriminasi dalam bentuk kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan bukanlah hal yang baru. Berabad-abad lamanya perempuan telah terbiasa diperlakukan kasar, tidak berguna, dan inferior oleh keluarganya, masyarakat, sekelilingnya, kekasih maupun suaminya. Celakanya, para ilmuwan atau filsuf sekalipun banyak berteori membenarkan alasan mereka mengapa perempuan harus ditindas. Aristoteles misalnya yang mengatakan bahwa perempuan itu setengah manusia, dikategorikan sebagai anak-anak, belum dewasa sehingga tidak mungkin menjadi pemimpin. Demikian halnya Sigmund Freud yang mengatakan bahwa perempuan secara psikologis tidak matang, karena mempunyai kecemburuan, dan masih banyak lagi ilmuwan yang berusaha lewat teori-teori baru sebisa mereka menyepelekan perempuan. Jadi secara historis memang perempuan telah diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua.
Gagasan John Stuart Mill (selanjutnya disingkat Mill) sebagai filsuf sekaligus feminis laki-laki tentang keberadaan perempuan khususnya mengenai persamaan hak bagi perempuan dan laki-laki merupakan sesuatu yang menarik untuk diteliti. Pada gagasan tersebut kita akan melihat bahwa dasar pemikiran feminisme liberal yang dianut Mill adalah semua manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi sehingga mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Penulisan tentang filsuf terkenal seperti John Stuart Mill sebagai laki-laki pertama yang menuangkan karya besarnya tentang teori-teori feminis yang secara umum diperhitungkan sebagai teori besar dalam tradisi politik Barat terasa masih kurang. Umumnya hanya melihat dari aspek kepentingan sosial dan politik bagi kaum laki-laki, padahal Mill dan karyanya memainkan peran penting dalam memajukan persamaan hak perempuan di Inggris pada abad ke-19. The Subjection of Women, sebagai bentuk penuangan gagasan Mill dianggap sebagai salah satu karya terbesarnya. Dalam karyanya ini terwakili argumen-argumen Mill yang ada pada karya sebelumya seperti On Liberty, Utilitarianism, Considerations on Representative Government, dan teori-teori sosial-politik lainnya. Menuliskan gagasan tentang persamaan hak bagi perempuan dan laki-laki tergolong berat, karena tidak semudah menuangkan gagasan tentang politik. Mill mengungkapkan bahwa bagaimana perempuan direndahkan dan didiskriminasikan telah lama mengganggu pikirannya tetapi baru sekarang ia mempunyai perasaan kuat. Kalau di Indonesia mungkin pada gaji karyawan yang wanitanya lebih sedikit di banding para pria. Padahal tak sedikit wanita yang berusaha sebanding dengan pria.

Penutup

Kesimpulan

Drama “Waktu Perempuan” yang ditulis oleh Royan Ikmal menceritakan tentang kekerasan terhadap kaum perempuan. Dalam drama ini,  seorang laki-laki yang dengan begitu mudah menyakiti dan merendahkan seorang wanita. Laki-laki tidak mau sadar bahwa hakikat seorang perempuan itu sangat berarti . Mereka tega menelantarkan, menghianat dengan seenaknya dan mencampakannya. Meski demikian, perempuan sudah berusaha untuk mempertahankannya tetapi sia-sia karena laki-laki menganggap bahwa dialah yang paling berkuasa dan paling berhak atas semuanya. Secara psikologis pun perempuan lebih mudah dipengaruhi, ditekan dan diancam. Intinya, resiko  melakukan kejahatan terhadap perempuan jauh lebih kecil daripada harus berhadapan dengan korban laki-laki. Perempuan selalu jadi tindak pelecehan, seperti perkosaan membawa dampak emosional dan fisik kepada korbannya. Laki-laki lupa mereka lupa bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang membedakan hanyalah jenis kelamin, sedangkan posisi dan status mereka adalah sama  ini.


Saran   

Di dalam penyusunan  tulisan ini tentunya masih banyak ditemukan kekurangan atau pun kesalahan di dalamnya. Sebagai hamba Allah yang tidak luput dari kesalahan kekurangan, penulis menyadari apa yang penulis sajikan  masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi isinya maupun teknik penulisannya Untuk itu saran kami untuk diadakan penelitian dan berbagai penjelasan yang lebih menyempurnakan  kekurangan-kekurangan tersebut dengan tujuan  membangun tulisan ini selanjutnya

0 komentar:

Posting Komentar